ULiIM's Journey

Wednesday, June 29, 2005

Petani Nira di Lais

Rabu, seperti biasa Papi sidang. Sebenernya tinggal dikit lagi, kesimpulan JPU, kesimpulan pengacara, & terakhir putusan. Entar kenapa, JPU susah banget buat kesimpulan. Keliatan banget udah gak punya dasar bikin tuntutan... memang gak ada kerjaan itu Kejaksaan + Polisi + KLH. Udah susah-susah usaha di Bengkulu sini sambil nolong orang, eh diutik-utik pula. Ironisnya, papi belakangan udah 2 kali diundang sama KLH untuk membicarakan 'produksi bersih'. Apa pula ini? Jadi kenapa masih menuntut pula?

Setengah jalan ke Bengkulu, pengacara telepon. Diundur lagi! Jaksa belum bisa ngasih kesimpulan. Denger-denger masih nunggu kabar dari Jakarta. Kacau! Tapi ya sudah lah, terserah mereka. Yang pasti kita pikir pihak kejaksaan harus tuntutan mereka. Apalagi yang mau dituntut?

Sisi baiknya, kita ada kesempatan untuk mampir di Lais, sekitar 1 jam dari Bengkulu. Beberapa waktu lalu supir kami, Pardio, sempat 'mampir' di sini karena ada kerusakan pada mobil. Kita mendatangi keluarga petani nira di situ. Tempatnya damai sekali...

Kita datang, dan kita ngobrol-ngobrol. Cari tahu bagaimana caranya panen nira. Sederhana sekali. Mereka hanya menampung nira yang keluar dari batang bunga dengan jerigen kecil, dan setelah beberapa hari, jerigen itu diambil. Teknik tersulit mungkin cuma satu: memanjat pohon kelapa untuk memasang dan mengambil jerigen-jerigen itu. Tanpa pakai pengaman apapun, cukup bertumpu ke takikan pada batang kelapa yang sudah dibuat sebelumnya. Berbahaya memang, tapi itu yang mereka lakukan. Tinggi pohonnya pun tak main-main, bisa sampai 6-7 meter. Setelah itu, seluruh air nira dimasak hingga seluruh airnya hilang. Perlu waktu hingga 6 7-8 jam hingga airnya habis. Agar gula merahnya tidak jadi alot, ditambahkan kapur sedikit.

Makin lama ngobrol, suasana makin hangat. Tentu juga didukung dengan air nira yang dihidangkan plus cemilan pisang. Air niranya sedap sekali... Kebetulan karena liburan sekolah, anak-anak keluarga tersebut ada semua di situ. Semuanya tujuh orang (!). Paling besar mungkin sekitar umur 23 tahun, dan terkecil sekitar 5 tahun. Sedang yang bekerja dua orang, si bapak dan anak laki-lakinya yang terbesar. Terus terang saya agak kasihan lihat kondisi mereka. Hal pertama yang buat saya sedih, lahan 1 hektar beserta 120 pohon kelapa di atasnya ternyata bukan milik mereka. Mereka 'kontrak pohon' - begitu istilahnya - dengan biaya 250 ribu sebulan. Sedang penghasilan kotor hasil jualan gula merah sekitar 30kg sehari x 30 hari x Rp.3.000 = Rp. 2,7 juta. Besar? Nggak juga. Dikurangi biaya produksi, paling dapatnya sekitar 2 juta sebulan. Untuk menghidupi 9 orang lho...

Salah sendiri punya anak banyak? Pertama saya pikir begitu, tapi setelah lama berbincang, si Bapak merasa 'sugih' (=kaya) karena ketujuh anaknya itu. Klise mungkin, tapi sama sekali tidak terlihat bahwa punya anak banyak itu buat keluarga itu susah. Malah dia merasa diberkati terus oleh Tuhan. Dia bilang, tidak pernah ada anggota keluarganya yang ke dokter! Rumahnya, walau hanya berlantai tanah dan berdinding pelepah kelapa dan papan, tampak bersih dan nyaman. Seluruh anak-anaknya terlihat sangat bersih dan sehat. Yah, jadi mau apa lagi? Saya jadi ingat satu ayat di Alkitab, "...asalkan ada makanan dan pakaian, cukuplah". Mungkin terlihat terlalu sederhana untuk jaman sekarang, tapi saya, Papi, dan Pardio bisa merasakan satu kedamaian & kebahagiaan yang rasanya sekarang sulit ditemukan di tempat lain. Terus terang, kami ikut tertular dengan suasana damai yang ada di tempat itu.

Tak terasa sudah hampir 2 jam kami di situ. Untuk kenang-kenangan, saya foto sebagian dari keluarga ini. Maunya sih semua, tapi entah kenapa mereka takut (atau malu).

Seperti biasa, papi selalu tertarik untuk membantu. Memang udah dari sananya, dan saya terus terang bangga karena itu :) Jadinya sepanjang jalan ke Bengkulu hingga kembali ke Sebelat kami berdiskusi panjang mengenai bagaimana memasak nira supaya lebih cepat, bagaimana kalau dibikin tangga tiap pohon biar gampang panennya, bagaimana kalau bibitnya pakai kelapa hibrida...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home